Tugas
ETIKA
BISNIS
Periklanan
dan Etika
Oleh
: Kelompok IV
Solihin : D1A1 10 063
Indrawati : D1A1 10 145
Saiful Ifan A : D1A1 10 141
Muyasir : D1A1 11 132
Eri Irianto : D1A1 10 028
Umar Sidiq : D1A1 10 035
JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
Periklanan atau
reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Kenyataan ini
berkaitan erat dengan cara cara berproduksi industry modern yang menghasilkan
produk-produk dalam kuantitas besar, sehingga harus mencari pembeli. Dan pasti
ada kaitanya dengan system ekonomi pasar dimana kompitisi dan persaingan
merupakan ungsur hakiki. Iklan justru dianggap cara ampuh untuk menonjol dalam
persaingan. Dalam ekonomi subsistem agribisnis hulu dan juga dalam ekonomi
berencana komunistis dari abad ke 20 tidak dirasakan kebutuhan akan periklanan
besar besaran, walaupun dalam system ekonomi apapun diperlukan metode untuk memperkenalkan
produknya sekurang kurangnya memberitahukan ada tau tidaknya produk produk.
Dengan meningkatnya ekonomis, cakupan dan intensitas periklanan akan bertambah
pula dengan sebaliknya dalam resesi ekonomi kegiatan reklame akan berkurang.
Dalam perkembangan periklanan, media komunikasi modern –media cetak tau
elektronis, tetapi khususnya televise memegang peranan dominan. Fenomena
periklanan ini menimbulkan berbagai masalah yang berbeda. Mungkin tidak ada
kegiatan bisnis lain yang berhadapan dengan begitu banyak kritik dan tanda
tannya seperti periklanan. Dari segi ekonomi dipertanyakan apakah periklanan
sebagaimana dipratekkan sekarang ini dan menghabiskan biaya besar sekali pada
dasarnya tidak merupakan pemborosan saja, karna tidak menambah sesuatu pada
produk dan tidak meningkatkan kegunaan bagi konsumen. Bahkan harus dikatakan bahwa, biaya luar
biasa itu dibebankan pada konsumen. Masalah-masalah lain berasan dari konteks
sosio cultural. Dikemukakan kebeadaan bahwa iklan iklan yang setiap hari secara
masal dan intensif dicurahkan dimasyarakat melalui berbagai media komunikasi,
pada umumnya tidak mendidik, tetapi sebalikya menyebarluaskan selera yang
rendah. Ditegaskan pula bahwa bisnis periklanan memamerkan suatu suasana
hedonistis dan materialistis. Dengan kata lain, periklanan dilatarbelakangi
suatu ediologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ediologi konsumerisme atau
apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu.
1.
Fungsi
periklanan
iklan dilukiskan
sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon
pembeli. Dalam proses komunikasi itu menyampaikan sebuah “pesan” dengan
demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberikan
informasi. Seolah olah tujuan terpenting adalah memperkenalkan produk atau jasa.
Rupanya dalam
periklanan dapat dibedakan dua fungsi : fungsi informative dan fungsi persuasive. Pada kenyataanya tidak
ada iklan yang semata mata informative dan tidak ada iklan yang semata mata persuasive.
Tetapi ada iklan dimana ungsur informasi paling dominan, disamping iklan dimana
ungsur promosi paling mencolok.
Tercampurnya ungsur
informasi dan ungsur persuasive dalam periklanan membuat penilaian etis
terhadapnya menjadi lebih kompleks. Seandainya iklan semata mata informative
atau semata mata persuasive, tugas etika disini menjadi lebih mudah. Tapi pada
kenyataannya tidak demikian, dengan akibat bahwa etika harus bernuansa dalam
menghadapi aspek-aspek etis dari periklanan.
2.
Periklanan
dan kebenaran
Berbohong adalah
mengatakan sesuatu yang tidak benar. Setidak tidaknya perlu ditambah. Pertama
ungsur kesengajaan. Jika saya mengatakan sesuatu yang tidak benar, padahal saya
berpikir bahwa yang saya katakana itu adalah benar, saya tidak berbohong.
Berbohong adalah
dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar oang lain percaya.
Perlu diperhatikan, menurut definisi ini maksud atau niat sipembicara yang dianggap sangat penting.
Maksud itu di sini berperan dua kali. Supaya ada pembohongn, si pembicara harus
bermaksud mengatakan sesuatu yang tidak benar (sengaja dan tidak kebetulan) dan
ia harus mengatakan hal itu dengan maksud agar orang lain percaya.
Bahasa pada
periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbol. Disini si
pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan public konsumen
bahwa etorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah. Maksudnya bukan
memberi informasi yang belum diketahui, melainkan menarik perhatian supaya
dapat memikat calon pembeli.
Ikan bukan saja
menyesatkan dengan berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan seluruh
kebenaran, misalnya dengan mendiamkan sesuatu yang sebenanya penting untuk
diketahui.
Selain dengan
berbohong, ikan bias bersifat tidak etis juga karena menipu. Dalam konteks ini berbohong dan menipu tidak
selamanya sama. Untuk menerti hal itu, perlu kita bandingakan pembohongan
dengan penipuan. Berbohong selalu berlangsung dalam rangka bahasa, entah lisan
atau tertulis. Cakupan penipuan lebih luas, penipuan bias berlangsung dalam
rangka bahasa, tetapi bias juga dilakukan dengan cara lain. Dengan perbuatan
tanpa mengatakan sepatah kata pun bias saya akibatkan orang lain percaya
sesuatu yang tidak benar. Pembohongan masih berada dengan cara lain lagi dari
penipuan. Kita hanya berbicara tentang penipuan, jika suatu perbuatan berhasil
sebagai penipuan, dengan kata lain, jika sungguh orang percaya. Percobaan
penipuan yang digagalkan oleh calon korban, tidak kita sebut penipuan. Penipuan
mempunyai konotasi kebehasilan. Sedangkan pembohongan tetap merupakan
pembohongan, ika oang lain tidak percaya pada apa yang dikatakan. Pembohogan
seperti itu merupakan usaha ntuk menipu, tapi tidak berhasil dalam maksudnya.
Karena alasan alasan itu definisi penipuan harus dirumuskan dengan lebih luas
sebagai berikut: dengan sengaja mengatakan atau melakukan sesuatu yang
mengakibatkan orang lain percaya apa yang tidak benar dan hal itu dikatakan
atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya.
3.
Manipulasi
dengan periklanan
Masalah kebenaran
teutama berkaitan dengan segi informative dari iklan (tetapi tidak secara
eksklusif), sedangkan masalah manipulasi terutama bekaitan dengan segi
persuasive dari iklan (tetapi tidak terlepas dari segi informatifnya). Dengan
“manipulasi” kita maksudnya: mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa,
sehingga ia mnghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih
oleh orang itu sendiri. Tetapi “ditanamkan” dalam dirinya dari luar.
Mempengaruhi harus
dibedakan dari manipulasi. Setiap hari kita dipengaruhi oleh banyak sekali factor, misalnya oleh
teman-teman. Memang penting apa yang disebut eklame dari mulut kemulut. Dengan
itu kita pasti dipengaruhi, tetapi tidak sampai dimanipulasi. Keputusan untuk
membeli atau tidak, tetap merupakan
keputusan kita sendiri. Kalau dimanipulasi, kebebasan dirampas dai kita,
sehingga keputusan kita menjadi sebuah akibat permainan saja. Iklan tidak mudah
memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban” permainan. Kalau tidak merasa
tertarik, banyak iklan dalam media cetak tidak kita baca, atau pada radio tidak
kita perhatikan, atau pula di tv kita hilangkan dengan pindah kesaluran lain
melalui remote controller. Public
menyadari cukup menyadari bahwa iklan itu namanya iklan dan karena itu selalu
harus didekati dengan sikap kritis.
Kebanyakan orang tahu membedakan suasana yang ditampilkan periklanan dengan
kenyataan. Namun demikian, tidak mustahil dalam keadaan ekstrem iklan bisa
memanipulasi juga dan kalau begitu iklan macam iyu pasti tidak etis. Lebih
lanjut kita membicarakan dua cara untuk sungguh-sungguh memanipulasi orang
dengan periklanan.
Cara pertama adalah
apa yang disebut subliminal advertising. Dengan
istilah ini dimaksudkan teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan
dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tetapi tinggal
dibawah ambang ksadaran (karena itu sb-liminal; dari kata latin limin= ambang). Teknik ini bisa dipakai
dibidang visual maupun radio. Kalau dalam rangka visual (vilm atau TV), suatu
pesan dimasukan sebentar saja dalam film, sehingga penonton tidak melihatnya
dengan sadar pada layar perak, namun demikian pesan itu ada juga dalam film.
Pernah dilaporkan bahwa periklanan subliminal ini bisa sangat efektif.
Kadang-kadang istilah
ini dipakai juga untuk apa yang disebut “periklanan subliminal dalam arti luas”
kalau begitu yang dimaksudkan adalah mempengaruhi konsumen melalui iklan dengan
memangfaatkan factor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks. Sebagaimana
sudah dibahas sebelumnya disini peilaku konsumen dipengaruhi, tetapi tidak dimanipulasi. Kebebasan konsumen
tidak dihilangkan. Disini jarang ada masalah etis, lebih banyak bisa muncul
masalah selera rendah (bad state). Periklanan
subliminal harus dibedakan juga dari periklanan terselubung, yaitu iklan yang
disampaikan dengan cara tidak langsung, seperti dalam film si actor jelas jelas
minum cocacola. Disinipun tidak ada masalah manipulasi.
Cara periklanan kedua
yang pasti bersifat manipulative adalah iklan yang ditnjukan kepada anak. Iklan
seperti itupun harus dianggap kurang etis, karena anak belum bisa mengambil
kebutusan dengan bebas dan sangat sensitive terhadap pengaruh dari luar. Karena
itu anak mudah dimanipulasi dan diperminkan. Apalagi, anak tidak akan membeli
produk yang diiklankan melainkan orang tuanya. Ia akan merengek rengek meminta
produk itu dibelikan dan bau puas bila keinginannya baru terpenuhi. Rupanya
iklan yang ditunjukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada
manipulasi saja dank arena itu harus ditolak sebagai tidak etis. Hal itu
berlaku secara khusus untuk iklan yang ditayangkan melalui televise, karena
cirri khas dari media yang sangat sugestif dan pepasif ini.
4.
Pengontrolan
terhadap iklan
Karena kemungkinan dipermainkan
kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan hal hal rawan dalam bisnis
periklanan, perlulah adanya control tepat yang dapat mengimbangi kerawanan
tersebut. Pada umumnya dikatakan bahwa pengontrolan seperti itu terutama haus
dijalankan dengan tiga cara beikut ini: oleh pemeintah, oleh paa pengiklan
sendiri, dan oleh masyarakat luas.
a. Control oleh pemerinta
Disini terlihat tugas penting bagi
pemerintah, yang harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan
periklanan. Di Indonesia iklan tentang makanan dan obat diawasi oleh direktorat
jenderal Pengawas Obat Dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
b.
Control
oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi
masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklana. Biasanya hal itu dilakukan
dengan menyusun kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh
profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro periklanan. Di
Indonesia kita memiliki tata karma dan
tata cara periklanan indinesia yang disempurnakan (1998) yang dikeluarkan
oleh AMLI (Asosiasi perusahaan Media Luar Indonesia), ASPINDO (Asosiasi
Pemakrasa dan Penyantun Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop
Seluruh Indonesia), PPPI (Pesatuan Perusahaan periklanan Indonesia), PRSSNI
(Pesatuan Radio Siaan Suasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat
Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan televise Republik Indonesia). Versi pertama
dari kode etik ini telah diberlakukan pada 1981. Jika suatu kode etik disetuju,
tentunnya pengawasan harus diawasi juga. Janganlah kode etik menjadi sebuah
formalitas saja yang tidak berpengaruh atas praktek sehari hari. Implementasi
banyak kode etik menjadi kurang efektif karna tidak penah diambil tindakan
sangsi terhadap para pelanggarnya. Di Indonesia pengawasan kode etik ini
dipecayakan kepada komisi periklanan
Indonesia yang terdii atas ungsur semua asosiasi pendukung dari tata karma
tersebut.
c.
Control
oleh masyarakat
Masyaakat luas tentu harus diikut
sertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang
terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasi efek-efek negative dari
periklanan adalah mendukung dan menggalakan lembaga-lembaga konsumen, yang
sudah lama dikenal dinegara-negara maju dan sejak tahun 1970-an berada juga di Indonesia yayasan lembaga
konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian lembaga pembinaan dan perlindungan
konsumen di Semarang. Sebetulnya setiap kota besar pantas memiliki lembaga
swadaya masyarakat yang betujuan advokasi konsumen seperti lembaga lembaga ini.
Laporan laporan oleh lembaga lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa
sangat efektif sebagai control atau kualitasnya dan serentak juga atau
kebenaran periklanan. Jika lembaga konsumen yang berwibawa atas dasar
penelitian yang melibatkan laboratorium dan ahli dibidang terkait mengeluarkan
laporan negative terhadap kebenaran iklan, hal itu merupakan pukulan berat bagi
produsen bersangkutan, kana dalam sekejap melenyakapkan efek dari kampanye
periklanan yang lama dan memakan biaya banyak.
Selain menjaga agar periklanan aga
tidak menyalahi batas batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan iklan
dalam media massa. Ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis
dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik.
Hamper semua Negara modern mengenal salah satu atau beberapa hadiah berkala
yang dianugrahi kepada iklan yang paling bemutu selama periode tertentu. Memang
benar, yang dinilai disini bkan saja aspek etis, tati juga aspek estetis, komnikatif,
keatif, dan sebagainya. Namun demikian, yang penting ialah bahwa aspek etis
selalu diikutsertakan. Penghargaan untuk iklan itu bisa diberikan oleh intansi
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sebua majalah, atau lain lain. Di
Indonesia kita mempunyai Citra Ahli
Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh ”Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia”.
5.
Penilaian
etis terhadap iklan
Refleksi tentang masalah masalah etis
disekitar praktek periklanan merupakan contoh bagus mengenai kompleksitas
pemikiran moral. Disini pringsip-pringsip etis memang penting, tetapi
tersedianya pingsip pringsip etis ternyata tidak cukup untuk menilai moralitas
sebuah iklan. Dalam penerapanya banyak factor lain ikut berpera. Efleksi
tentang etika periklanan ini mengingatkan bahwa penalaran moral selalu harus
bernuansa dengan menyimak dan menilai situasi kongkrit. Pringsi-pringsip etis
yang penting dalam konteks periklanan sudah dipelajari sebelumnya (tidak boleh
bebohong, otonomi manusia harus dihomati). Dalam pasal terakhir ini kita
memandang empat factor berikut yang selalu harus dipertimbangkan dalam
menerapkan pringsip-pringsip tersebut, jika kita ingin membentuk penilaian etis
yang seimbang tentang iklan: maksud sipengiklan, isi iklan, keadaan public yang
dituju, dan kebiasaan dibidang periklanan. Dua factor tesebut terakhir
menyangkt situasi yang berbed beda.
a.
Maksud
si pengiklan
Apa yang terjadi maksud sipengiklan?
Jika maksud sipengiklan tidak baik, dengan sendiinya moralitas iklan itu
menjadi tidak baik juga. Jika sipengiklan tau bahwa produk yang diiklankan
merugikan konsumen atau dengan sengaja ia menjelekan produk dai pesaing, iklan
menjadi tidak etis. Jika maksud sipengiklan adalah membuat iklan yang
menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis.
b.
Isi
iklan
Menurut isinya iklan harus benar dan
tidak boleh mengandung ungsur yang menyesatkan, seperti misalnya iklan tentang
obat di televise yang pura-pura ditayangkan oleh tenaga medis yang memakai baju
putih dan stetoskop. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu
yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan
diadakan dalam rangka promosi. Karna itu informasina tidak perlu selengkap
mungkin seperti laporan dari instansi netral. Bisa dibenakan jika sebuah produk
dalam iklan dipresentasikan dari segi yang palig menguntungkan.
c.
Keadaan
public yang tertuju
Sikap berhati hati sebelum membeli
memang merupakan sikap dasar bagi calon pembeli. Demikian juga dalam konteks
periklanan. Public sebaiknya mempunyai skepsis yang sehat terhadap usaha
pesuasi dari peiklanan. Gagasan periklanan harus diimbangi dengan sikap kitis
public.
Yang dimengeti disini dengan public
disini adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi yang cukup
tentang produk atau jasa yang diiklankan. Dalam setiap masyaakat terdapat orang
naïf, tetapi janganlah mereka diambil sebagai patokan untuk menilai moralitas
periklanan. Namun demikian, perlu diakui juga bahwa mutu public sebagai
keseluruhas bisa berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat
banyak orang sederhana yang mudah tetipu, tertu haus dipakai setandar lebih
ketat daripada lalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi
atau setandar ekonomi lebih maju.
Secara umm bisa dikatakan bahwa periklanan
mempunyai potensi besar untuk mengipas ipas kecembuuan social dalam masyarakat
dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonism dari suatu elit kecil. Hal
ini merupakan aspek etis yang sangat penting, teutama dalam masyarakat yang
ditandai kesenjangan social yang besar seperti Indonesia.
d.
Kebiasaan
di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekan dalam
angka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu
disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang sudah disepakati secara emplisit
atau eksplisit dan yang seringkali tidak dapat dipisahkan dari etos yang
menandai masyarakat itu. Septi halnya juga itu dibidang bidang lain, tradisi
itu menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dimana ada
tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja,
bila beberapa iklan lebih mudah diterima daripada dimana praktek periklanan
baru mulai dijalankan pada sekala besar.
6.
Beberapa
kasus etika periklanan
a.
Tiket
gratis dari Bouraq
Pada tanggal 11 dan 18 Mei 1992
Maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan di harian Banjarmasin Post yang berbunyi : tukarkanlah sepuluh lembar tiket
bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis di kantor perwakilan Bouraq
setempat. Tidak diberi penjelsan lain. Iklan sebesa sepeempat halaman itu
dipasang juga dalam jawa post (Surabaya) dan pikiran rakyat (Bandung). Seoang pengusaha dibanjarmasin kebetlan
menyimpan 50 tiket bekas. Ketika dia pergi ke Kantor Bouraq setempat dengan
harapan memperoleh 5 tiket gratis, ia mendapat keterangan bahwa yang bisa
ditukarkan hanyalah tiket 5 Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat
dalam iklan dan juga tidak disebut bahwa konsumen bisa memperoleh informasi
lebih lanjut di kantor perwakilan Bouraq. Karena itu boleh diandaikan saja
bahwa informasi dalam iklan itu lengkap. Tempo,
(6 Juni 1992)
b.
Mega
Pasaraya dan etika bisnis
Dalam rangka menarik konsumen, pada
bulan Agustus- Oktober lalu Mega Pasar Raya Blok M, Jakarta, mengadakan undian wisata
belanja untuk pembelian minuman Rp 50.000 dan kelipatanya, tanpa pencantuman
syarat apa pun untuk memenang undian.
Pada penarikan yang telah dilaksanakan
, ternyata sya telah memenangkan dua nomor hadiah (dari sekian puluh vocer yang
dimasukan) dan telah diumumkan derta dipampangkan pada papan pengumuman resmi
dari pasaraya.
Saat saya akan mengambil dua buah
hadiah itu 20/11 ternata ditolak oleh petugas bagian promosi dilantai empat,
dengan alasan hanya boleh mengambil satu buah. Saya tidak mempersoalkan besar
atau kecilnya hadiah, namun yang saya persoalkan adalah etika bisnis dari
pasarraya dengan mengiming imingi konsumen yang ternyata hanyalah bohong
belaka. Surat pembaca (Kompas, 28
November 1996)
c.
Garuda
protes
Majalah Newsweek Juni 1993 memuat iklan satu halaman untuk maskapai
penerbangan Malaysia Air System (MAS). Iklan ini mengumumkan hasil penelitian Inflight Reseach Services of London (IRSL), suatu lembaga penelitian penebangan
di Inggris. Dalam penelitian itu diselidiki pendapat penumpang kelas utama
terhadap fasilitas dan pelayanan dari 31 maskapai penebangan selama tahun1992.
Dalam penelitian yang diumumkan dalam iklan tersebut, MAS keluar sebagai
peringkat paling atas, sedangkan garuda menduduki urutan ke 30, hanya satu
tingkat di atas ai india yang berada paling bawah. Gauda protes pada MAS dan
minta agar iklan itu ditarik kembali, karena melanggar etika periklanan. MAS
menjawab bahwa mereka tidak beniat untuk merendahkan citra dai pihak manapun
dan hanya menggunakan hasil penelitian dari institute riset yang handal dan
tidak memihak. Kalangan periklanan di Indonesia menganggap pencantuman hasil
penelitian dalam iklan tidak melanggar etika periklanan, asalkan criteria
jelas, digunakan dasar pembandingan yang sama dan bisa dibuktikan, sebagaimana
ditegaskan oleh Yusca Ismail, Ketua persatuan perusahaan periklanan Indonesia. Kebetulan
majalah fortune edisi November 1992 mengeluarkan hasil penelitian lain terhadap
50 perusahaan penerbangan, bedasarkan pendapatan selata tahun 1991. Ternyata
Garuda peringkat ke 28, Singapore ke 20, thai ke 24, sedangkan MAS ke 36.
Garuda maupun MAS tidak protes. Tempo,
21 Agustus 1993.
d.
Iklan
Filma di RCTI yang tidak etis
Kalau pemirsa TV-RCTI memperhatikan
siaran iklan iklannya, ada salah satu iklan minyak goring yang bunyinya kurang
lebih: bila ibu ingin minyak goring yang bunyinya kurang lebih “bila ibu ingin
minyak goreng yang murni, jernih, lezat, sehat, gunakan akal sehat, pilihlah
filma, filma membuat masakan lebih lezat dan sehat.”
Jadi dengan kata lain, ibu-ibu yang
tidak memakai minyak goring filma, berati tidak menggunakanakal sehat…… alias
akalnya tidak sehat. Bukankah itu kurang/tidak etis? Seyogyanya pihak RCTI pun
lebih hati hati dalam menyiarkan iklan yang kata katanya kurang tepat. Surat
pembaca Kompas 29 Maret 1992.
e.
Iklan
Pasta gigi Zendium
Catatan dari penulis tentang zendium
dulu diiklankan bahwa ini satu satunya pasta gigi yang mengandung enzim. Hal
itu benar. Tapi ada klaim juga bahwa zendium lebh ampuh melindungi gigi. Hal
itu tidak benar dan malah menyesatkan. Para dokter gigi menegaskan bahwa gula
(makanan permen, misalnya) tetap merupakan perusak gigi nomor satu. Hal itu
tidak berubah dengan adanya Zendium.
f.
Iklan
Belum Modern
Pemirsa RCTI seringkali menikmati
beberapa tayangan iklan suatu produk perusahaan yang sangat tidak mendidik.
Saya ingin member tanggapan terhadap iklan colgagate gel biru yang tidak etis,
bahwakan cenderung bersifat penghinaan. Hal ini didukung oleh acting membawa
pesan iklan yang baik sekali dalam mencibirkan pealatan belum modern seperti tv
hitam putih, kipas angin, kompor minyak dan odol biasa.
Sungguh disayangkan, iklan smacam
tersebut dapat lolos untuk ditayangkan kepada pemirsa. Karena kita mengetahui
masih banyka pemirsa RCTI yang menikmati siarannya menggunakan TV hitam putih
dan sekelompok masyarakat yang beruntung memiliki kipas angin guna menyegarkan
udara ruangan dan sekelompok masyarakat dan dapat memasak menggunakan kompor
minyak. Bagaimana dengan masyarakat yang belem menggunakan atau memiliki
peralatan “belm modern” tersebut? Apakah jawaban. Dan bagaimana pendapat
perusahaan-perusahaan yang memproduksi keempat peralatan belum modern tesebut. Kompas 10 April1992
g.
Iklan
Plaza Senayan
Saya kaget dan sedih dengan nyayian
dan tokoh pelaku iklan Plaza Senayan. Begitu konsumtif dengan menggunakan
helicopter belanja, dan terkesan hura hura ditambah konteks nyayian: “hidup
hanya sekali jangan siasiakan”. Apakah betul hidup hanya sekali itu harus diisi
dengan hura hura belanja penuh kemegahan.
Apakah tidak tersirat sedikitpun untuk
menggunakan hidup yang hanya sekali itu dengan menjalankan ibadah, beramal dan
membantu saudara kita yang masih banyak berekonomi lemah? Yang jangankan
belanja dengan mewah ditempat megah, membeli makanan diwarungpun mikir.
Surat
Pembaca Kompas, 4 Juni 1996
h.
Iklan
kijang
Saya sangat risih mendengar iklan
mobil Toyota kijang di radio maupun ditelevisi, yang melibatkan seorang anak
usia sekolah. Iklan itu secara tidak langsung telah mendidik anak dan keluarga
untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif.
Sangat perihatin, begitu banyak anak
dinegeri ini yang jangankan liburan ke bali dan naik “kijang”, untuk sekolah
mereka tidak mampu dan harus bekerja singan malam sekedar untuk makan sehari
Sungguh merupakan hal yang ironis,
seorang anak yang seharusnya belajar memahami fakta social teman teman
seusianya yang tesuruk ditengah kerasnya perjuangan mereka, ternyata terdidik
untuk ikut berpikir tentang cicilan kendaraan mobil kijang yang katanya ringan,
dan bersikeras ntuk libuan ke bali hanya karna sudah terlanjur bercerita kepada
teman temannya.
Eksplorasi anak anak untuk iklan saja
sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi iklan yang mewah
dan konsumtif. Lalu mau dibawa kemana anak anak kita?.
Surat
pembaca, kompas 1 Mei 1995.
Pertanyaan
1.
Selain dari sudut pandang etika,
keberatan apa lagi yang sering dikemukakan terhadap peiklanan?
Jawab:
Dari segi ekonomi dipertanyakan apakah
periklanan sebagaimana dipratekkan sekarang ini dan menghabiskan biaya besar
sekali pada dasarnya tidak merupakan pemborosan saja, karna tidak menambah
sesuatu pada produk dan tidak meningkatkan kegunaan bagi konsumen. Bahkan harus dikatakan bahwa, biaya luar
biasa itu dibebankan pada konsumen. Masalah-masalah lain berasan dari konteks
sosio cultural. periklanan dilatarbelakangi suatu ediologi tersembunyi yang
tidak sehat, yaitu ediologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih
untuk itu.
2.
Jelaskan dua fungsi periklanan.
Jawab:
periklanan dapat dibedakan dua fungsi
: fungsi informative dan fungsi
persuasive. Pada kenyataanya tidak ada iklan yang semata mata informative dan
tidak ada iklan yang semata mata persuasive. Tetapi ada iklan dimana ungsur
informasi paling dominan, disamping iklan dimana ungsur promosi paling mencolok
3.
Bagaimana sebaiknya definisi tentang
bebohong? Benarkah ungsur ungsur terpentingnya dan jelaskan bagaimana iklan
bebohong dengan menerapkan definisi ini.
Jawab:
Berbohong adalah dengan
sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar oang lain percaya. Iklan
bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan
seluruh kebenaran, misalnya dengan mendiamkan sesuatu yang sebenanya penting
untuk diketahui.
4.
Apa yang dimaksud dengan manipulasi?
Mengapa manipulasi itu tidak etis? Mengapa iklan tidak mudah memanipulasi?
Jawab:
“manipulasi” maksudnya: mempengaruhi
kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia mnghendaki atau menginginkan
sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri Tetapi
“ditanamkan” dalam dirinya dari luar.
Kalau dimanipulasi, kebebasan dirampas
dai kita, sehingga keputusan kita menjadi sebuah akibat permainan saja.
Iklan tidak mudah memanipulasi, karena
tidak mudah membuat “korban” permainan. Kalau tidak merasa tertarik, banyak
iklan dalam media cetak tidak kita baca, atau pada radio tidak kita perhatikan,
atau pula di tv kita hilangkan dengan pindah kesaluran lain melalui remote controller.
5.
Apa yang dimaksud dengan subliminal advertaising dan apa yang
bisa dikatakan tentang sifat etisnya?
Jawab:
teknik periklanan yang sekilas
menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan
dengan sadar, tetapi tinggal dibawah ambang kesadaran (karena itu sb-liminal;
dari kata latin limin= ambang).
6.
Dari segi etika, bagaimana penilaian
tentang iklan yang ditunjukan kepada anak?
Jawab:
Iklan yang ditunjukan kepada anak-anak
harus dianggap kurang etis, karena anak belum bisa mengambil kebutusan dengan
bebas dan sangat sensitive terhadap pengaruh dari luar. Karena itu anak mudah
dimanipulasi dan diperminkan.
7.
Bagaimana sebaiknya pengontrolan
terhadap periklanan?
Jawab:
pengontrolan iklan itu haus dijalankan
dengan tiga cara beikut ini: oleh pemeintah, oleh para pengiklan sendiri, dan
oleh masyarakat luas.
8.
Faktor factor mana yang harus
dipetimbangkan dalam menilai kualitas etis dari perikanan?
Jawab:
factor yang selalu harus dipertimbangkan
dalam menerapkan pringsip-pringsip kualitas etis, jika kita ingin membentuk
penilaian etis yang seimbang tentang iklan: maksud sipengiklan, isi iklan,
keadaan public yang dituju, dan kebiasaan dibidang periklanan.