Kampus

Etika bisnis

Makalah :
ETIKA BISNIS
“MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN”










OLEH :
 KELOMPOK III

WA ODE HASIDA                             (D1A1 10 058)
ADE SALEAPARA TAHIR              (D1A1 10 039)
YUSRAN B. MAKMUR                    (D1A1 10 046)
IMAM YANWAR                               (D1A1 10 019)
ARI ADE SYAH                                 (D1A1 08 172)
RAHMAT                                            (D1A1 10 099)

PS/PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I.  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Dan Manfaat
BAB II. PEMBAHASAN
MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN
A.  Perhatian Untuk Konsumen
*      Hak atas keamanan
*      Hak atas Informasi
*      Hak untuk Memilih
*      Hak untuk didengarkan
*      Hak Lingkungan Hidup
*      Hak Konsmen atas Pendidikan
B.   Tanggung jawab Bisnis Untuk Menyediakan Produk yang Aman
*      Teori Kontrak
*      Teori Perhatian semestinya
*      Teori Biaya Sosial
C.  Tanggung jawab Bisnis Lainnya Terhadap Konsumen
*      Kualitas Produk
*      Harga
*      Pengemasan dan Pemberian Label
D.  Studi Kasus : Obat Hewan yang membahayakan Kesehatan Konsumen
*      Pendahuluan
*      Masalah Etika Mengenai Obat Ayam
*      Analisa Etika
BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang MHE berkah limpahan Rahmat dan Hidayahnya dalam menyusun Makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dalam bentuk yang sederhana seperti ini. Makalah ini membahas tentang Masalah Etis Seputar Konsumen. Dengan mengetahui Masalah-masalah seputar Konsumen menjadikan bekal buat kita dalam memahami konsumen.
 Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penulisan maupun penyajian materinya. Terimakasih kepada semua teman-teman yang sudah membantu dalam penyusunan makalah ini baik dari segi sumbangsi pikiran, dan financial. Olehnya itu jika ada yang menggunakannya sebagai referensi maka saran dan kristik yeng bersifat membangun sangat diaharapakan demi sempurnanya penulisan makalah selanjutnya. Makalah ini disusun berdasarkan materi-materi yang dirangkum dari berbagai referensi, sehingga dapat disusun sebuah makalah sebagaimana yanag akan disajikan pada bab selanjutnya.






Kendari, April 2013



Penulis



BAB I. PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang menggunkan produk atau jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh bisnis. Dalam hal ini tentu tidak cukup, bila konsumen tampil stu kali saja pada saat bisnisdimlai. Supaya bisnis berkesinambungan, perlulah konsumen yang secara teratur memakai serta membeli produk atau jasa tersebut dan dengan demikian menjadi pelanggan. Pelanggan menduduki posisi kunci untuk menjamin sukses setiap bisnis, bsar ataupun kecil. Pelnggan adalah raja dalam arti bahwa saialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama kegiatan produsen.
Bahwa konsumen harus diperlakukan denan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Sebagaiaman halnya dengan banyak  topic etika bisnis lainnya, disinipun berlaku  bahwa etika dalam praktek bisnis sejalan dengan kesesuaian dalam berbisnis. Perhatian untuk etika hubungannya dengan konsumen, harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi-segi etis dari relasi bisnis –konsumen itu mendesak. karena posisi konsumen seringkali agak lemah. Walaupun konsumen digelari raja, namun pada kenyataannya seringkali posisinya sangat terbatas karena berbagai alasan. Anatara lain daya beli seringkali tidak seperti diinginkan, sehingga ia tidak sanggup mengungkapkan preferensinya yang sesungguhnya. Hal itu berlaku secara khusus dalam situasi pasar bebas yang modern, dimana ia bisa memilih antara macam produk yang berberda. Dalam konteks modern, si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen. Karena itu bisnis mempunyai kewajiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari terjadinya kerugian.
Matakuliah Etika Bisnis memberikan kita pengutahuan tentang bagaiman perilaku kita yang baik terhadap konsumen dan kita perlu mengetahui masalah-masalah etis seputar konsumen. Agar kiranya memberikan bekal pengetahuan kepada kita dalam melakukan bisnis dikemudian hari, baik bisnis kecil maupun besar.  
B.       Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah :
a.       Perhatian seperti apa yang dilakukan terhadap  konsumen ?
b.      Teori apa yang digunakan agar konsumen loyal terhadap kita ?
c.       Bagaimana Tanggung jawab bisnis Terhadap konsumen ?
C.      Tujuan  
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui masalah-masalahetis yang terjadi seputar konsumen dan mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam berbisnis hubungan produsen terhadap konsumen.




BAB II. PEMBAHASAN
MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN

A.      Perhatian Untuk Konsumen
*      Hak atas keamanan
Konsumen berhak atas produk yang aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan tekhnis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatannya atau bahkan membahayakan hidupnya.
Karena banyak produk mengandung resiko tertentu untuk konsumen, khususnya resiko untuk kesehatan dan keselamatan. Sebagai contoh dapat disebut pesetisida, obat-obatan, makanan, dan mainan anak, kendaraan bermotor, dan alat kerja. Pertani yag menggunakan pesetsida banyak mengalami resiko untuk kesehata, bila ia menghirup bahan kimia tersebut. Obat bisa mempunyai efek samping yang tak terduga oleh konsumen. makanan bisa mengandung zat pengawet atau zat pewarna yang dapat merugikan kesehatan konsmen dan dengan- misalnya –mengakibatkan penyakit kanker. Mainan bisa bisa dibuat dengan salah, karena anak-anak mudah terluka akibat bagian-bagian yang tajam, umpamanya. Tingkat keamanan semua mobil tidak sama, bila terjadi kecelakaan lalu lintas, ada mobil yang dirancang sedemikian rupa, sehingga penumpang mempunyai peluang besar untuk hidup pada saat tabrakan keras, sedangkan untuk mobil lain peluang itu tipis sekali.
Sehingga melihat kasus-kasus seperti itu yang terjadi maka, produsen harus memperhatikan hak atas keamanan terhadap konsumen guna menjaga keloyalitas konsumen terhadap usaha kita.
*      Hak atas Informasi
Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik apa sesngguhnya produk itu (bahan bakunya umpamanya), maupun bagaimana cara memakainya, juga resiko yang menyertai pemakaiannya. Hak ini meliputi segala aspek pemasaran dan periklanan. Jika suatu produk diberi garansi untuk jangka waktu tertentu, segala syarat dan konsenkuensinya harus dijelaskan secara lengkap. Semua informasi yang disebut pada label sebuah produk harusnlah benar : isinya, beratnya, tanggal kadaluarsa, cirri-ciri khusus dsb. Misalnya informasi yang relevan berupa “makana halal untuk umat islam” atau makanan yang mengandung kolesterol” harus sesuai dengan kebenaran isi produk.    
*      Hak untuk Memilih

Walaupun hak pertama dan kedua tadi bisa dianggap paling penting, masih ada hak lain yang pantas dimiliki oleh konsumen. Dalam system ekonomi pasar bebas, dimana kompetisi merupakan unsusr hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara pelbagai produk dan jasa yang ditawarkan. Kualitas dan harga produk bisa berbeda. Konsumen berhak untuk membandingkannya, sebelum mengambil keputusan untuk membeli.  
*      Hak untuk didengarkan
Karena konsumen adalah orang yang menggunakan produk atau jasa, ia berhak membawa keinginannya tentang produk atau jasa itu didiengarkan dan dipertimbangkan terutam keluhannya. Hal itu berarti juga bahwa para konsumen harus dkonsultasikan jika pemerintah ingin membuat peraturan atau undang-undang yang menyangkut produk atau jasa tersebut.
Hak-hak konsumen ini tentu tidak boleh dimengerti sebagai hak dala arti sempit. Hak-hak ini tidak merupakan hak legal yang dapat dituntut di pengadilan, umpamanya. Lebih baik hak-hak konsumen dipahami sebagai cita-cita atau tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat. Tidak bisa dikatakan pula mpat hak tadi menggambarkan secara lengkap posisi konsumen terhadap produsen.  
*      Hak Lingkungan Hidup
Melalui produk yang digunakan. konsmen memanfaatkan sumberdaya alam. Ia berhak bahwa produk dibikin sedemikina rupa, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau tidak merugikan keberlanjutan proses-proses alam. Konsumen boleh menuntut bahwa dengan memanfaatkan produk ia tidak akan mengurangi kualitas kehidupan di bumi ini. Dengan kata lain ia berhak nahwa produk itu ramah lingkungan.
*      Hak Konsmen atas Pendidikan
Tidak cukup bila konsumen mempunyai hak, ia juga harus menadari haknya, bahkan menyadari hak saj belum cukup, karena konsumen ahrus mengemukakan kritik atau keluhannya bila haknya dilanggar. Konsumen mempunyai hak juga untuk secara positif dididik kearah itu. Terutama disekolah dan melalui media massa, masyarakat harus dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya. Dengan itu ia sanggup memberikan sumbangan yang berarti kepada mutu kehidupan ekonomi dan mutu bisnis pada umumnya.
Semua hak konsumen ini disebut juga dalam undang-undang tentang perlindungan konsumen yang dimiliki di Indonesia sejak April 1999, ditambah beberapa hak lain seperti hak ntuk mendapatkan advokasi sert perlindungn dan hak untuk mendapat ganti rugi atau penggantian bila produk tidak dalam keadaaan semestinya.    
B.       Tanggung jawab Bisnis Untuk Menyediakan Produk yang Aman
Dalam literature etika bisnis Amerika, topic ini disebut product liability. Soalnya ialah apakah produsen bertanggungjawab, bila produknya mengakibatkan kerugian bagi konsumen dan, kalau memang begitu, apa yang menjadi dasar teoritis ntuk tanggugjawab tersebut. Kini diskusi brlangsung terutama tentang bagian kedua dari pertanyaan tadi, karena tidak diraguka lagi bahwa kerugian yang dialami konsumen sebagai pemakaian produk tertentu menjadi tanggung jawab produsen. Jika orang membeli mobil baru, mpamanya dan tidak lama kemudian mobil itu rusak karena kesalahan kontruksi, maka produsen wajib menggantikan mobil yang rusak itu dengan mobil yang baru yang tidak mempunyai kekurangan tersebut atau setidak-tidaknya kerusakan harus diperbaiki secepatnya. Sekarang untuk produk tersebut akan diberikan garansi Selma periode tertentu. Tentu saja produsen hanya bertaggungjawab kalau kerugian disebabkan karena kesalahan produksi atau kotruksi.
Jika produksi disalahgunakan oleh konsumen, si produsen tdak bertanggungjawab misalnya, jika pisau untuk keperluan dapur diambil oleh seorang anak kecil yang kemudian melukai dirinya sendiri, maka produsen tidak bertanggungjawab atau took yang memilkinya tidak bertanggungjawab. Orang dewasa yang membelinya dan memilikinya bertanggungjawab bahwa alat berbahaya serupa itu tidak jatuh dalam tangan anak kecil. Produsen pun tida bertanggungjawab, bila alat berbahaya seperti gergaji, listrik mengakibatkan kergian Karen sipemakai tidak berhati-hati.
Penyalagunaan produk menjadi tanggung jawab si pemakai itu sendiri. Paling-paling produsen bertanggung jawab member peringatan dalam petunjuk pemakaian tentang bahaya yang melekat pada satu produk. Misalnya pada kemasan obat biasanya disebut (hal it bisa diwajibkan melalui peraturan hokum) bahwa obat itu arus diseimpan ditempat yang tidak dijangkaui oleh anak-anak.  Sebelum memakai suatu produk, sesorang konsumen harus membaca dulu petunjuk pemakaian dan informasi lainnya. tetapi tidak bisa dituntut agar seseorang konsumen membeli baru, terlebih dahulu menguji semua bagian mobilnya sebelum dipakai. Hal itu secara tekhnis tidak mungkin juga. Disini, produsen harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian dalam keadaan prima, sehigga bisa dipakai dengan aman. Jadi, terhadap suaru produk yang baru dibeli da dipakai, produsen maupun konsumen masing-masing mempunyai tanggungjawab.
Pertanyaan muncul dimana dapat ditarik garis pemisah antara tanggung jawab konsumen sendiri dan tanggung jawab produsen atas produknya. Dimana persisnya tanggung jawab konsumen untk melindungi dirinya berhenti dan tanggung jawab produsen, telah dikemukakan tiga teori yang mengandung uansa yag berbeda, diantaranya adalah : Teori Kontrak, Teori perhatian, semestinya dan Teori biaya social. Tiga pandangan ini menyediakan dasar teorotis bagi pendekatan etis maupun yuridis mengenai hubungan produsen- konsumen, khsusnya dalam hal tanggung jawab atas produk yang ditawarkan oleh produsen dan dibeli oleh konsumen.   
*      Teori Kontrak
Menurut pandangan ini hbugan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak da kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan oleh kontrak itu. Jika produsen membeli suat produk, ia seolah-olah mengadakan kontrakn dengan prsahaan yang menjualnya. Perusahaan dengan tahu dan mau menyerahkan produk dengan cirri-ciri tersebut. kepada sipembeli da si pembeli membeli membayar jumlah uang yang disetujui. Karena kontrak diadakan dengan bebas, produsen berkewajiban menyampaikan produk dengan cirri-ciri tersebut- bukan sesuatu yang berebda – dan si konsumen berhak memperleh produk itu setelah jumlah uang dilunasi menurut cara pembayaran yag telah disepakati.
Pandangan kontrak ini sejalan dengn paptah Romawi Kuno yang berbunyi Caveat empor, “ hendaklah si pembeli berhati-hati”. Sebagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak, kita harus membaca dengan teliti seluruh teksnya-termaksud hurf-hurf kecil seklaipun. Demikian juga si pembeli dengan hati-hati harus mempelajari keadaan produk serta cirri-cirinya, sebelum dengan membayar ia menjadi pemiliknya. Transaksi ual beli harus di jalankan sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli mapun kewajiban penjual memperoleh dasarnya dari situ.
Tentu saja menjadi sah , kontrak harus memenuhi bebrapa syarat lagi. Yang terpenting adalah ketiga syarat berikut ini. Pertama, Kedua belah pihak harus mengetahui betul baik arti kontrak maupun sifat-sifat produk. Misalnya, jika satu pihak mengerti bahwa kontrak itu hanya mengenai penyewaan sedagkan pihak lain megerti bahwa kontrak sama tentang pejualan, maka kontrak itu menjadi tidak sah Atau jika satu pihak berfikir bahwa kontrak menyangkut produk A, sedangkan pihak lain berfikir bahwa kontrak menyangkut Produk B, maka kontrak juga menjadi tidak sah.
Kedua, Kedua belah pihak harus melukiskan dengan enar fakta yang mejadi objek kontrk. JIka salah satu pihak dengan sengaja member gambaran palsu tentang fakta  maka kontrak menjadi tidak sah. Contohya jika sipenjual member kesan bahwa mobil yang diual adalah baru, adahal yang ditawarkan adalah mobil bekas. Atau contoh tentang pihak pembeli : Si pembeli member kesan bahwa ia akan mebayar kontan, padahal ia baru bisa menyerahkan uangnya sesudaj tiga bulan.
Ketiga, tidak boleh erjadi kedua belah pihak megadakan kotrak karena dipaksa atau karena pengaruh yang kurang wajar seperti ancaman. Jika salah satu pihak mengalami paksaan, dengan itu kotrak, menjadi tidak sah. Jadi sebgaimana ketidak tahuan da paksaan merupakan dua faktor utama yang menggagalkan keabsahan kontrak pada mumnya, demikian juga dua faktor itu meniadakan keabsahan kontrak jual beli yang menandai hubungan produsen-konsumen.  
*      Teori Perhatian semestinya
Teori tentang erhatian yang semestinya berasal dari asal kata perhatian dan dipahami sebagai perhatian yang efektif yang bersedia mengambil tindakan seperlunya. Berbeda dengan pandangan kontrak, pandagan keda ini tidak menyetarafkan produsen dan konsmen, melainkan bertolak dari kenyataan bahwa konsumen selalu dalam posisi lemah, karena produsen mempunyai jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang produk yang tidak dimiliki oleh konsumen. Kepentingan konsmen disini di nomor satukan. Karena produsen berada dalam posisi yang lebih kuat dalam menilai produk, ia mempunyai kewajiban menjaga agar si konsmen tidak mengalami kerugian dari produk yang dibelinya. Motto yang berlaku disini bukan “Hndaklah si pemebeli berhati-hati” melainkan “Hendaklah sipenjual berhati”.
Prodsen bertanggung jawab atas kerugian yang  dialami si konsumen dengan memakai produk, walaupun tanggung jawab itu tidak tertera dalam kontrak jual beli atau bahkan disangkal secara eksplisit. Contoh terkenal adalah mainan untuk anak. Kerap kali anak dilukai waktu bermain, karena mainannya tidak dibuat dengan aman. Pihak produsen tidak dapat melepaskan  tanggung jawabnya.
Pandangan perhatian semestinya  ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara konsmen dan produsen, melainkan terutama kualitas produk serta tanggungjawab produsen. Krena itu tekanannya bukan pada segi hukuman saja (seperti teori kontrak) melainkan pada etika bisnis dalam arti luas. Norma dasar yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya. Norma dasar ini dapat diberi fundasi lagi, baik dalam teori etika yang disebut deontology (teori Hak), maupun dalam tilitarisme maupun dalam teori keadilan. Perhatian semestinya memiliki basis etika yang teguh. Pendasaran yang berbeda-beda itu bisa disingkat sebagai berikut :
·         Norma “ tidak merugikan” Bisa didasarkan atas teori deontology (dan teori Hak). Sebab, kita harus memeprlakkan orang lain sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah boleh memperlakukan dia sebagai sarana belaka. Karena itu orang lain mempunyai hak positif untuk dibantu, jika ia tidak bisa membantu dirinya. Produsen yang tidak memperhatikan konsmen, akan mengorbankan dia pada tuuannya sendiri.
·         Norma tidak “merugikan”  bisa didasarkan pula atas teori utalitaterisme karena jika norma ini diterima, setiap orang dalam masyarakat akan berntung.
·         Akhirnya, Norma ini bisa didasarkan juga atas teori ini keadilan, Khususnya menurut pandangan John Rawls Sebab, dalam original position dimana kita berada di balik veil of ignorance kita akan memilih norma ini demi kepntingan kita sendiri.  
Dari uraian panjang diatas dapat kita simpulkan bahwa pandangan “perhatian yang semestinya” ini lebih memaskan dari pada pandangan kontrak. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa pandangan ini pun tidak mempunyai kelemahan juga. Kita menyebut dua kesulitan yang bisa muncul disini.
Pertama, tidak gampang untuk menentukan apa artinya “semestinya” bila kita katakana bahwa produsen harus memberikan “perhatian yang semestinya”. Misalnya sejauh mana produk itu  harus dirancang dan dikontrksi dengan aman.
Kesulitan kedua adalah bisa dirmuskan sebagai berikut. Prodsen memang lebih tahu banyak tentang satu produk dari pada konsumen, tetapi pada akhirnya pengetahannya terbatas juga. Produsen pun tidak selalu mengetahui semua akibat negative dari sebuah produk.
*      Teori Biaya Sosial
Teori ketiga tentang kewajiabn produsen melangkah lebih jauh lagi. Teori biaya social menegaskan bahwa prodsen  bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Hal itu berlaku juga, jika produsen sudah mengambil semua tindakan yang semestinya dalam merancang serta memproduksi produk bersangkutan atau jika mereka sudah memepingatkan konsmen tentang resiko yang berkaitan dengan pemakaian produk. Kalau teori ini benar, prodsen rokok- umpamanya – harus dianggap bertanggung jawab atas terjadinya penyakit kanker paru-paru atau penyakit jantung yang dialami oleh perokok, walaupun mereka sudah memasang peringatan tentang bahaya merokok atau ksehatan. Menurut para pendukung teori ini semua akibat negative dari suatu produk.  harus dibebankan kepada produsen. Dapat dimengerti bahwa kalau teori biaya social ini secara khusus medapat dukungan dari para aktivis gerakan konsumen.
Teori biaya social merupakan versi paling ekstrim dari semboyan “ Hendaklah sipenjual berhati-hati” Walapun teori ini paling menguntungkan bagi konsumen, rupanya sulit mempertahankan juga.  Kritik yang dikemukakan dalam teori ini bisa disingkatkan sebagai berikut :
Pertama, teori biaya social tampaknya kurang adil, karena menganggap orang bertanggng jawab atas hal-hal yang tidak diketahuinya atau tidak bisa dihindarkan. Menurut keadilan kompensatoris, orang harus bertanggung jawab atas akibat perbutannya yang diketahui dapat terjadi da bisa dicegah olehnya.
Kedua, Teori biaya social membawa kerugian ekonomis. Bila teori ini dipraktekkan, produsen harus terpaksa mengambil asuransi terhadap klaim kerugian dan biaya asuransi itu bisa menjadi begit tinggi. Sehingga tidak terpikul lagi oleh banyak perusahaan. Apalagi teori ini akan mengakibatkan suasana suasana kurang sehat dalam masyarakat, bila gara-gara alasan apa saja konsumen menuntut prodsen yang bertanggung jawab.
Kita dapat menyimpulkan bahwa teori pertama dan kedua paling penting sebagai pndasar moral bagi tanggung jawab prodsen. Dalam hal ini dua teori tersebut melengkapi satu sama lain. Pada teori biaya social pantas kita puji idealism yang terkandung di dalamnya. tetai teori ini kurang membuka perspekstif realistis bagi praktek. Dan dibidang seperti itu praktek justru sangat mendesak. Supaya efektif, prinsip-prinsip etis ini harus dikongkritkan dalam bentuk peraturan hokum. Dalam hal ini Amerika serikat adalah contoh yang menarik. Sejak Tahun 1960-an disitu cukup banyak dikeluarkan undang-undang yang bertujuan  melindungi konsumen. Tentu saja adanya peraturan belm menjamin perlindungan konsumen. Peraturan harus dilaksanakan juga. Dalam hal ini AS cukup berhasil. Instansi disana yang terutama mengawasi perlindungan konsmen adalah Federal Trade Commision (FTC) dan bidang makanan dan obat-obatan Food and Drug Administration (FDA)    
C.      Tanggung jawab Bisnis Lainnya Terhadap Konsumen
*      Kualitas Produk
*      Harga
*      Pengemasan dan Pemberian Label
D.      Studi Kasus : Obat Hewan yang membahayakan Kesehatan Konsumen
*      Pendahuluan
*      Masalah Etika Mengenai Obat Ayam
*      Analisa Etika
BAB III. PENUTUP
C.    Kesimpulan
D.    Saran

Etika Bisnis II


Tugas
ETIKA BISNIS
Periklanan dan Etika
Oleh : Kelompok IV
Solihin                 : D1A1 10 063
Indrawati             : D1A1 10 145
Saiful Ifan A         : D1A1 10 141
Muyasir                : D1A1 11 132
Eri Irianto            : D1A1 10 028
Umar Sidiq           : D1A1 10 035


JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Kenyataan ini berkaitan erat dengan cara cara berproduksi industry modern yang menghasilkan produk-produk dalam kuantitas besar, sehingga harus mencari pembeli. Dan pasti ada kaitanya dengan system ekonomi pasar dimana kompitisi dan persaingan merupakan ungsur hakiki. Iklan justru dianggap cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam ekonomi subsistem agribisnis hulu dan juga dalam ekonomi berencana komunistis dari abad ke 20 tidak dirasakan kebutuhan akan periklanan besar besaran, walaupun dalam system ekonomi apapun  diperlukan metode untuk memperkenalkan produknya sekurang kurangnya memberitahukan ada tau tidaknya produk produk. Dengan meningkatnya ekonomis, cakupan dan intensitas periklanan akan bertambah pula dengan sebaliknya dalam resesi ekonomi kegiatan reklame akan berkurang. Dalam perkembangan periklanan, media komunikasi modern –media cetak tau elektronis, tetapi khususnya televise memegang peranan dominan. Fenomena periklanan ini menimbulkan berbagai masalah yang berbeda. Mungkin tidak ada kegiatan bisnis lain yang berhadapan dengan begitu banyak kritik dan tanda tannya seperti periklanan. Dari segi ekonomi dipertanyakan apakah periklanan sebagaimana dipratekkan sekarang ini dan menghabiskan biaya besar sekali pada dasarnya tidak merupakan pemborosan saja, karna tidak menambah sesuatu pada produk dan tidak meningkatkan kegunaan bagi konsumen.  Bahkan harus dikatakan bahwa, biaya luar biasa itu dibebankan pada konsumen. Masalah-masalah lain berasan dari konteks sosio cultural. Dikemukakan kebeadaan bahwa iklan iklan yang setiap hari secara masal dan intensif dicurahkan dimasyarakat melalui berbagai media komunikasi, pada umumnya tidak mendidik, tetapi sebalikya menyebarluaskan selera yang rendah. Ditegaskan pula bahwa bisnis periklanan memamerkan suatu suasana hedonistis dan materialistis. Dengan kata lain, periklanan dilatarbelakangi suatu ediologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ediologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu.
1.           Fungsi periklanan
iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi itu menyampaikan sebuah “pesan” dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberikan informasi. Seolah olah tujuan terpenting adalah memperkenalkan produk atau jasa.
Rupanya dalam periklanan dapat dibedakan dua fungsi : fungsi informative  dan fungsi persuasive. Pada kenyataanya tidak ada iklan yang semata mata informative dan tidak ada iklan yang semata mata persuasive. Tetapi ada iklan dimana ungsur informasi paling dominan, disamping iklan dimana ungsur promosi paling mencolok.
Tercampurnya ungsur informasi dan ungsur persuasive dalam periklanan membuat penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks. Seandainya iklan semata mata informative atau semata mata persuasive, tugas etika disini menjadi lebih mudah. Tapi pada kenyataannya tidak demikian, dengan akibat bahwa etika harus bernuansa dalam menghadapi aspek-aspek etis dari periklanan.
2.           Periklanan dan kebenaran
Berbohong adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar. Setidak tidaknya perlu ditambah. Pertama ungsur kesengajaan. Jika saya mengatakan sesuatu yang tidak benar, padahal saya berpikir bahwa yang saya katakana itu adalah benar, saya tidak berbohong.
Berbohong adalah dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar oang lain percaya. Perlu diperhatikan, menurut definisi ini maksud atau niat  sipembicara yang dianggap sangat penting. Maksud itu di sini berperan dua kali. Supaya ada pembohongn, si pembicara harus bermaksud mengatakan sesuatu yang tidak benar (sengaja dan tidak kebetulan) dan ia harus mengatakan hal itu dengan maksud agar orang lain percaya.
Bahasa pada periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbol. Disini si pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan public konsumen bahwa etorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah. Maksudnya bukan memberi informasi yang belum diketahui, melainkan menarik perhatian supaya dapat memikat calon pembeli.
Ikan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya dengan mendiamkan sesuatu yang sebenanya penting untuk diketahui.
Selain dengan berbohong, ikan bias bersifat tidak etis juga karena menipu.  Dalam konteks ini berbohong dan menipu tidak selamanya sama. Untuk menerti hal itu, perlu kita bandingakan pembohongan dengan penipuan. Berbohong selalu berlangsung dalam rangka bahasa, entah lisan atau tertulis. Cakupan penipuan lebih luas, penipuan bias berlangsung dalam rangka bahasa, tetapi bias juga dilakukan dengan cara lain. Dengan perbuatan tanpa mengatakan sepatah kata pun bias saya akibatkan orang lain percaya sesuatu yang tidak benar. Pembohongan masih berada dengan cara lain lagi dari penipuan. Kita hanya berbicara tentang penipuan, jika suatu perbuatan berhasil sebagai penipuan, dengan kata lain, jika sungguh orang percaya. Percobaan penipuan yang digagalkan oleh calon korban, tidak kita sebut penipuan. Penipuan mempunyai konotasi kebehasilan. Sedangkan pembohongan tetap merupakan pembohongan, ika oang lain tidak percaya pada apa yang dikatakan. Pembohogan seperti itu merupakan usaha ntuk menipu, tapi tidak berhasil dalam maksudnya. Karena alasan alasan itu definisi penipuan harus dirumuskan dengan lebih luas sebagai berikut: dengan sengaja mengatakan atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya apa yang tidak benar dan hal itu dikatakan atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya.
3.           Manipulasi dengan periklanan
Masalah kebenaran teutama berkaitan dengan segi informative dari iklan (tetapi tidak secara eksklusif), sedangkan masalah manipulasi terutama bekaitan dengan segi persuasive dari iklan (tetapi tidak terlepas dari segi informatifnya). Dengan “manipulasi” kita maksudnya: mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia mnghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri. Tetapi “ditanamkan” dalam dirinya dari luar.
Mempengaruhi harus dibedakan dari manipulasi. Setiap hari kita dipengaruhi  oleh banyak sekali factor, misalnya oleh teman-teman. Memang penting apa yang disebut eklame dari mulut kemulut. Dengan itu kita pasti dipengaruhi, tetapi tidak sampai dimanipulasi. Keputusan untuk membeli atau tidak,  tetap merupakan keputusan kita sendiri. Kalau dimanipulasi, kebebasan dirampas dai kita, sehingga keputusan kita menjadi sebuah akibat permainan saja. Iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban” permainan. Kalau tidak merasa tertarik, banyak iklan dalam media cetak tidak kita baca, atau pada radio tidak kita perhatikan, atau pula di tv kita hilangkan dengan pindah kesaluran lain melalui remote controller. Public menyadari cukup menyadari bahwa iklan itu namanya iklan dan karena itu selalu harus didekati dengan sikap  kritis. Kebanyakan orang tahu membedakan suasana yang ditampilkan periklanan dengan kenyataan. Namun demikian, tidak mustahil dalam keadaan ekstrem iklan bisa memanipulasi juga dan kalau begitu iklan macam iyu pasti tidak etis. Lebih lanjut kita membicarakan dua cara untuk sungguh-sungguh memanipulasi orang dengan periklanan.
Cara pertama adalah apa yang disebut subliminal advertising. Dengan istilah ini dimaksudkan teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tetapi tinggal dibawah ambang ksadaran (karena itu sb-liminal; dari kata latin limin= ambang). Teknik ini bisa dipakai dibidang visual maupun radio. Kalau dalam rangka visual (vilm atau TV), suatu pesan dimasukan sebentar saja dalam film, sehingga penonton tidak melihatnya dengan sadar pada layar perak, namun demikian pesan itu ada juga dalam film. Pernah dilaporkan bahwa periklanan subliminal ini bisa sangat efektif.
Kadang-kadang istilah ini dipakai juga untuk apa yang disebut “periklanan subliminal dalam arti luas” kalau begitu yang dimaksudkan adalah mempengaruhi konsumen melalui iklan dengan memangfaatkan factor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks. Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya disini peilaku konsumen dipengaruhi,  tetapi tidak dimanipulasi. Kebebasan konsumen tidak dihilangkan. Disini jarang ada masalah etis, lebih banyak bisa muncul masalah selera rendah (bad state). Periklanan subliminal harus dibedakan juga dari periklanan terselubung, yaitu iklan yang disampaikan dengan cara tidak langsung, seperti dalam film si actor jelas jelas minum cocacola. Disinipun tidak ada masalah manipulasi.
Cara periklanan kedua yang pasti bersifat manipulative adalah iklan yang ditnjukan kepada anak. Iklan seperti itupun harus dianggap kurang etis, karena anak belum bisa mengambil kebutusan dengan bebas dan sangat sensitive terhadap pengaruh dari luar. Karena itu anak mudah dimanipulasi dan diperminkan. Apalagi, anak tidak akan membeli produk yang diiklankan melainkan orang tuanya. Ia akan merengek rengek meminta produk itu dibelikan dan bau puas bila keinginannya baru terpenuhi. Rupanya iklan yang ditunjukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dank arena itu harus ditolak sebagai tidak etis. Hal itu berlaku secara khusus untuk iklan yang ditayangkan melalui televise, karena cirri khas dari media yang sangat sugestif dan pepasif ini.
4.           Pengontrolan terhadap iklan
Karena kemungkinan dipermainkan kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan hal hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya control tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pada umumnya dikatakan bahwa pengontrolan seperti itu terutama haus dijalankan dengan tiga cara beikut ini: oleh pemeintah, oleh paa pengiklan sendiri, dan oleh masyarakat luas.
a.  Control oleh pemerinta
Disini terlihat tugas penting bagi pemerintah, yang harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Indonesia iklan tentang makanan dan obat diawasi oleh direktorat jenderal Pengawas Obat Dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
b.               Control oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklana. Biasanya hal itu dilakukan dengan menyusun kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro periklanan. Di Indonesia kita memiliki tata karma dan tata cara periklanan indinesia yang disempurnakan (1998) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi perusahaan Media Luar Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemakrasa dan Penyantun Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI (Pesatuan Perusahaan periklanan Indonesia), PRSSNI (Pesatuan Radio Siaan Suasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan televise Republik Indonesia). Versi pertama dari kode etik ini telah diberlakukan pada 1981. Jika suatu kode etik disetuju, tentunnya pengawasan harus diawasi juga. Janganlah kode etik menjadi sebuah formalitas saja yang tidak berpengaruh atas praktek sehari hari. Implementasi banyak kode etik menjadi kurang efektif karna tidak penah diambil tindakan sangsi terhadap para pelanggarnya. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipecayakan kepada komisi periklanan Indonesia yang terdii atas ungsur semua asosiasi pendukung dari tata karma tersebut.
c.               Control oleh masyarakat
Masyaakat luas tentu harus diikut sertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasi efek-efek negative dari periklanan adalah mendukung dan menggalakan lembaga-lembaga konsumen, yang sudah lama dikenal dinegara-negara maju dan sejak tahun 1970-an  berada juga di Indonesia yayasan lembaga konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian lembaga pembinaan dan perlindungan konsumen di Semarang. Sebetulnya setiap kota besar pantas memiliki lembaga swadaya masyarakat yang betujuan advokasi konsumen seperti lembaga lembaga ini. Laporan laporan oleh lembaga lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai control atau kualitasnya dan serentak juga atau kebenaran periklanan. Jika lembaga konsumen yang berwibawa atas dasar penelitian yang melibatkan laboratorium dan ahli dibidang terkait mengeluarkan laporan negative terhadap kebenaran iklan, hal itu merupakan pukulan berat bagi produsen bersangkutan, kana dalam sekejap melenyakapkan efek dari kampanye periklanan yang lama dan memakan biaya banyak.
Selain menjaga agar periklanan aga tidak menyalahi batas batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan iklan dalam media massa. Ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Hamper semua Negara modern mengenal salah satu atau beberapa hadiah berkala yang dianugrahi kepada iklan yang paling bemutu selama periode tertentu. Memang benar, yang dinilai disini bkan saja aspek etis, tati juga aspek estetis, komnikatif, keatif, dan sebagainya. Namun demikian, yang penting ialah bahwa aspek etis selalu diikutsertakan. Penghargaan untuk iklan itu bisa diberikan oleh intansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sebua majalah, atau lain lain. Di Indonesia kita mempunyai Citra Ahli Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh ”Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia”.
5.           Penilaian etis terhadap iklan
Refleksi tentang masalah masalah etis disekitar praktek periklanan merupakan contoh bagus mengenai kompleksitas pemikiran moral. Disini pringsip-pringsip etis memang penting, tetapi tersedianya pingsip pringsip etis ternyata tidak cukup untuk menilai moralitas sebuah iklan. Dalam penerapanya banyak factor lain ikut berpera. Efleksi tentang etika periklanan ini mengingatkan bahwa penalaran moral selalu harus bernuansa dengan menyimak dan menilai situasi kongkrit. Pringsi-pringsip etis yang penting dalam konteks periklanan sudah dipelajari sebelumnya (tidak boleh bebohong, otonomi manusia harus dihomati). Dalam pasal terakhir ini kita memandang empat factor berikut yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan pringsip-pringsip tersebut, jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan: maksud sipengiklan, isi iklan, keadaan public yang dituju, dan kebiasaan dibidang periklanan. Dua factor tesebut terakhir menyangkt situasi yang berbed beda.
a.               Maksud si pengiklan
Apa yang terjadi maksud sipengiklan? Jika maksud sipengiklan tidak baik, dengan sendiinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika sipengiklan tau bahwa produk yang diiklankan merugikan konsumen atau dengan sengaja ia menjelekan produk dai pesaing, iklan menjadi tidak etis. Jika maksud sipengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis.


b.               Isi iklan
Menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung ungsur yang menyesatkan, seperti misalnya iklan tentang obat di televise yang pura-pura ditayangkan oleh tenaga medis yang memakai baju putih dan stetoskop. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karna itu informasina tidak perlu selengkap mungkin seperti laporan dari instansi netral. Bisa dibenakan jika sebuah produk dalam iklan dipresentasikan dari segi yang palig menguntungkan.
c.               Keadaan public yang tertuju
Sikap berhati hati sebelum membeli memang merupakan sikap dasar bagi calon pembeli. Demikian juga dalam konteks periklanan. Public sebaiknya mempunyai skepsis yang sehat terhadap usaha pesuasi dari peiklanan. Gagasan periklanan harus diimbangi dengan sikap kitis public.
Yang dimengeti disini dengan public disini adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi yang cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan. Dalam setiap masyaakat terdapat orang naïf, tetapi janganlah mereka diambil sebagai patokan untuk menilai moralitas periklanan. Namun demikian, perlu diakui juga bahwa mutu public sebagai keseluruhas bisa berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tetipu, tertu haus dipakai setandar lebih ketat daripada lalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau setandar ekonomi lebih maju.
Secara umm bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai potensi besar untuk mengipas ipas kecembuuan social dalam masyarakat dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonism dari suatu elit kecil. Hal ini merupakan aspek etis yang sangat penting, teutama dalam masyarakat yang ditandai kesenjangan social yang besar seperti Indonesia.
d.               Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekan dalam angka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang sudah disepakati secara emplisit atau eksplisit dan yang seringkali tidak dapat dipisahkan dari etos yang menandai masyarakat itu. Septi halnya juga itu dibidang bidang lain, tradisi itu menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja, bila beberapa iklan lebih mudah diterima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada sekala besar.
6.           Beberapa kasus etika periklanan
a.    Tiket gratis dari Bouraq
Pada tanggal 11 dan 18 Mei 1992 Maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan di harian Banjarmasin Post yang berbunyi : tukarkanlah sepuluh lembar tiket bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis di kantor perwakilan Bouraq setempat. Tidak diberi penjelsan lain. Iklan sebesa sepeempat halaman itu dipasang juga dalam jawa post (Surabaya) dan pikiran rakyat (Bandung). Seoang pengusaha dibanjarmasin kebetlan menyimpan 50 tiket bekas. Ketika dia pergi ke Kantor Bouraq setempat dengan harapan memperoleh 5 tiket gratis, ia mendapat keterangan bahwa yang bisa ditukarkan hanyalah tiket 5 Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat dalam iklan dan juga tidak disebut bahwa konsumen bisa memperoleh informasi lebih lanjut di kantor perwakilan Bouraq. Karena itu boleh diandaikan saja bahwa informasi dalam iklan itu lengkap. Tempo, (6 Juni 1992)
b.   Mega Pasaraya dan etika bisnis
Dalam rangka menarik konsumen, pada bulan Agustus- Oktober lalu Mega Pasar Raya Blok M, Jakarta, mengadakan undian wisata belanja untuk pembelian minuman Rp 50.000 dan kelipatanya, tanpa pencantuman syarat apa pun untuk memenang undian.
Pada penarikan yang telah dilaksanakan , ternyata sya telah memenangkan dua nomor hadiah (dari sekian puluh vocer yang dimasukan) dan telah diumumkan derta dipampangkan pada papan pengumuman resmi dari pasaraya.
Saat saya akan mengambil dua buah hadiah itu 20/11 ternata ditolak oleh petugas bagian promosi dilantai empat, dengan alasan hanya boleh mengambil satu buah. Saya tidak mempersoalkan besar atau kecilnya hadiah, namun yang saya persoalkan adalah etika bisnis dari pasarraya dengan mengiming imingi konsumen yang ternyata hanyalah bohong belaka. Surat pembaca (Kompas, 28 November 1996)
c.    Garuda protes
Majalah Newsweek Juni 1993 memuat iklan satu halaman untuk maskapai penerbangan Malaysia Air System (MAS). Iklan ini mengumumkan hasil penelitian Inflight Reseach Services of London (IRSL), suatu lembaga penelitian penebangan di Inggris. Dalam penelitian itu diselidiki pendapat penumpang kelas utama terhadap fasilitas dan pelayanan dari 31 maskapai penebangan selama tahun1992. Dalam penelitian yang diumumkan dalam iklan tersebut, MAS keluar sebagai peringkat paling atas, sedangkan garuda menduduki urutan ke 30, hanya satu tingkat di atas ai india yang berada paling bawah. Gauda protes pada MAS dan minta agar iklan itu ditarik kembali, karena melanggar etika periklanan. MAS menjawab bahwa mereka tidak beniat untuk merendahkan citra dai pihak manapun dan hanya menggunakan hasil penelitian dari institute riset yang handal dan tidak memihak. Kalangan periklanan di Indonesia menganggap pencantuman hasil penelitian dalam iklan tidak melanggar etika periklanan, asalkan criteria jelas, digunakan dasar pembandingan yang sama dan bisa dibuktikan, sebagaimana ditegaskan oleh Yusca Ismail, Ketua persatuan perusahaan periklanan Indonesia. Kebetulan majalah fortune edisi November 1992 mengeluarkan hasil penelitian lain terhadap 50 perusahaan penerbangan, bedasarkan pendapatan selata tahun 1991. Ternyata Garuda peringkat ke 28, Singapore ke 20, thai ke 24, sedangkan MAS ke 36. Garuda maupun MAS tidak protes.   Tempo, 21 Agustus 1993.
d.   Iklan Filma di RCTI yang tidak etis
Kalau pemirsa TV-RCTI memperhatikan siaran iklan iklannya, ada salah satu iklan minyak goring yang bunyinya kurang lebih: bila ibu ingin minyak goring yang bunyinya kurang lebih “bila ibu ingin minyak goreng yang murni, jernih, lezat, sehat, gunakan akal sehat, pilihlah filma, filma membuat masakan lebih lezat dan sehat.”
Jadi dengan kata lain, ibu-ibu yang tidak memakai minyak goring filma, berati tidak menggunakanakal sehat…… alias akalnya tidak sehat. Bukankah itu kurang/tidak etis? Seyogyanya pihak RCTI pun lebih hati hati dalam menyiarkan iklan yang kata katanya kurang tepat. Surat pembaca Kompas 29 Maret 1992.
e.    Iklan Pasta gigi Zendium
Catatan dari penulis tentang zendium dulu diiklankan bahwa ini satu satunya pasta gigi yang mengandung enzim. Hal itu benar. Tapi ada klaim juga bahwa zendium lebh ampuh melindungi gigi. Hal itu tidak benar dan malah menyesatkan. Para dokter gigi menegaskan bahwa gula (makanan permen, misalnya) tetap merupakan perusak gigi nomor satu. Hal itu tidak berubah dengan adanya Zendium.
f.     Iklan Belum Modern
Pemirsa RCTI seringkali menikmati beberapa tayangan iklan suatu produk perusahaan yang sangat tidak mendidik. Saya ingin member tanggapan terhadap iklan colgagate gel biru yang tidak etis, bahwakan cenderung bersifat penghinaan. Hal ini didukung oleh acting membawa pesan iklan yang baik sekali dalam mencibirkan pealatan belum modern seperti tv hitam putih, kipas angin, kompor minyak dan odol biasa.
Sungguh disayangkan, iklan smacam tersebut dapat lolos untuk ditayangkan kepada pemirsa. Karena kita mengetahui masih banyka pemirsa RCTI yang menikmati siarannya menggunakan TV hitam putih dan sekelompok masyarakat yang beruntung memiliki kipas angin guna menyegarkan udara ruangan dan sekelompok masyarakat dan dapat memasak menggunakan kompor minyak. Bagaimana dengan masyarakat yang belem menggunakan atau memiliki peralatan “belm modern” tersebut? Apakah jawaban. Dan bagaimana pendapat perusahaan-perusahaan yang memproduksi keempat peralatan belum modern tesebut. Kompas 10 April1992
g.    Iklan Plaza Senayan
Saya kaget dan sedih dengan nyayian dan tokoh pelaku iklan Plaza Senayan. Begitu konsumtif dengan menggunakan helicopter belanja, dan terkesan hura hura ditambah konteks nyayian: “hidup hanya sekali jangan siasiakan”. Apakah betul hidup hanya sekali itu harus diisi dengan hura hura belanja penuh kemegahan.
Apakah tidak tersirat sedikitpun untuk menggunakan hidup yang hanya sekali itu dengan menjalankan ibadah, beramal dan membantu saudara kita yang masih banyak berekonomi lemah? Yang jangankan belanja dengan mewah ditempat megah, membeli makanan diwarungpun mikir.
Surat Pembaca Kompas, 4 Juni 1996
h.   Iklan kijang
Saya sangat risih mendengar iklan mobil Toyota kijang di radio maupun ditelevisi, yang melibatkan seorang anak usia sekolah. Iklan itu secara tidak langsung telah mendidik anak dan keluarga untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif.
Sangat perihatin, begitu banyak anak dinegeri ini yang jangankan liburan ke bali dan naik “kijang”, untuk sekolah mereka tidak mampu dan harus bekerja singan malam sekedar untuk makan sehari
Sungguh merupakan hal yang ironis, seorang anak yang seharusnya belajar memahami fakta social teman teman seusianya yang tesuruk ditengah kerasnya perjuangan mereka, ternyata terdidik untuk ikut berpikir tentang cicilan kendaraan mobil kijang yang katanya ringan, dan bersikeras ntuk libuan ke bali hanya karna sudah terlanjur bercerita kepada teman temannya.
Eksplorasi anak anak untuk iklan saja sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi iklan yang mewah dan konsumtif. Lalu mau dibawa kemana anak anak kita?.
Surat pembaca, kompas 1 Mei 1995.
Pertanyaan
1.   Selain dari sudut pandang etika, keberatan apa lagi yang sering dikemukakan terhadap peiklanan?
Jawab:
Dari segi ekonomi dipertanyakan apakah periklanan sebagaimana dipratekkan sekarang ini dan menghabiskan biaya besar sekali pada dasarnya tidak merupakan pemborosan saja, karna tidak menambah sesuatu pada produk dan tidak meningkatkan kegunaan bagi konsumen.  Bahkan harus dikatakan bahwa, biaya luar biasa itu dibebankan pada konsumen. Masalah-masalah lain berasan dari konteks sosio cultural. periklanan dilatarbelakangi suatu ediologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ediologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu.

2.   Jelaskan dua fungsi periklanan.
Jawab:
periklanan dapat dibedakan dua fungsi : fungsi informative  dan fungsi persuasive. Pada kenyataanya tidak ada iklan yang semata mata informative dan tidak ada iklan yang semata mata persuasive. Tetapi ada iklan dimana ungsur informasi paling dominan, disamping iklan dimana ungsur promosi paling mencolok

3.   Bagaimana sebaiknya definisi tentang bebohong? Benarkah ungsur ungsur terpentingnya dan jelaskan bagaimana iklan bebohong dengan menerapkan definisi ini.
Jawab:
Berbohong adalah dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar oang lain percaya. Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya dengan mendiamkan sesuatu yang sebenanya penting untuk diketahui.

4.   Apa yang dimaksud dengan manipulasi? Mengapa manipulasi itu tidak etis? Mengapa iklan tidak mudah memanipulasi?
Jawab:
“manipulasi” maksudnya: mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia mnghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri Tetapi “ditanamkan” dalam dirinya dari luar.
Kalau dimanipulasi, kebebasan dirampas dai kita, sehingga keputusan kita menjadi sebuah akibat permainan saja.
Iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban” permainan. Kalau tidak merasa tertarik, banyak iklan dalam media cetak tidak kita baca, atau pada radio tidak kita perhatikan, atau pula di tv kita hilangkan dengan pindah kesaluran lain melalui remote controller.

5.   Apa yang dimaksud dengan subliminal advertaising dan apa yang bisa dikatakan tentang sifat etisnya?
Jawab:
teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tetapi tinggal dibawah ambang kesadaran (karena itu sb-liminal; dari kata latin limin= ambang).
6.   Dari segi etika, bagaimana penilaian tentang iklan yang ditunjukan kepada anak?
Jawab:
Iklan yang ditunjukan kepada anak-anak harus dianggap kurang etis, karena anak belum bisa mengambil kebutusan dengan bebas dan sangat sensitive terhadap pengaruh dari luar. Karena itu anak mudah dimanipulasi dan diperminkan.
7.   Bagaimana sebaiknya pengontrolan terhadap periklanan?
Jawab:
pengontrolan iklan itu haus dijalankan dengan tiga cara beikut ini: oleh pemeintah, oleh para pengiklan sendiri, dan oleh masyarakat luas.

8.   Faktor factor mana yang harus dipetimbangkan dalam menilai kualitas etis dari perikanan?
Jawab:
factor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan pringsip-pringsip kualitas etis, jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan: maksud sipengiklan, isi iklan, keadaan public yang dituju, dan kebiasaan dibidang periklanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar